Jakarta: Bantuan Subsidi Upah ( BSU) sebesar Rp600 ribu yang diberikan kepada pekerja berupah di dasar Rp3,5 juta dipertanyakan daya gunanya. Kebijakan tersebut dinilai butuh ditinjau ulang, bukan cuma dari sisi nominal, namun pula arah serta orientasi kebijakannya.
Ekonom serta ahli kebijakan publik dari UPN Pensiunan Jakarta Achmad Nur Hidayat melaporkan, BSU cumalah respons kilat negeri terhadap krisis mengkonsumsi rumah tangga kelas pekerja. Tetapi itu tidak lumayan buat mengangkut keluarga pekerja dari jurang kerentanan ekonomi.
Baginya, tantangan utama bukan semata- mata besarnya dorongan, namun orientasi kebijakan yang sepanjang ini bertabiat jangka pendek serta reaktif. Kala harga- harga kebutuhan pokok naik, kelompok yang sangat terdampak merupakan pekerja informal, guru honorer, buruh pabrik, serta pelakon usaha kecil. Mereka tidak memiliki cadangan keuangan serta tidak dapat menunda mengkonsumsi. Dalam suasana semacam itu, dorongan tunai semacam BSU cuma jadi tambalan sedangkan.
” Dorongan ini memanglah berarti selaku wujud respons darurat, tetapi tidak memegang pangkal perkara yang lebih luas: melonjaknya bayaran hidup, tekanan inflasi benda pokok, serta stagnasi pemasukan riil pekerja,” ucapnya dikala dihubungi, Rabu, 25 Juni 2025.
Achmad menegaskan pemerintah butuh membangun sistem proteksi sosial yang lebih berkepanjangan. BSU sepatutnya jadi bagian dari orkestrasi kebijakan yang lebih besar serta tersambung, mulai dari subsidi benda pokok, penguatan jaminan sosial, revitalisasi pasar rakyat, sampai intervensi harga kebutuhan bawah.
” Negeri tidak lumayan cuma muncul berikan duit, namun wajib membenarkan rakyat dapat hidup layak dari hasil kerjanya,” kata Achmad.
Dia pula menyoroti kesenjangan proteksi antara zona resmi serta informal, di mana lebih dari 60 persen struktur ekonomi Indonesia terdiri dari zona informal. Sayangnya, kelompok ini sering terabaikan dalam desain kebijakan dorongan. Pemerintah dimohon memperluas cakupan BSU serta memegang zona informal dan UMKM kecil yang ialah tulang punggung ekonomi nasional.
Pengendalian harga bahan pokok
Tidak hanya dorongan langsung, pengendalian harga benda pokok pula jadi kunci. Alih- alih cuma menyalurkan duit tunai, negeri dapat memencet harga beras, telur, minyak goreng, serta kebutuhan pokok yang lain supaya senantiasa terjangkau. Dengan begitu, duit yang dipunyai warga hendak lebih efisien dalam melindungi mengkonsumsi.
Achmad pula mendesak terdapatnya skema subsidi produktif, semacam pelatihan kerja, insentif untuk industri yang tingkatkan upah riil, dan sokongan terhadap koperasi serta UMKM. Seluruh ini dikira lebih sanggup membagikan ketahanan ekonomi jangka menengah.
Perihal yang lain merupakan akses yang adil terhadap layanan bawah semacam pembelajaran serta kesehatan. Karena, 2 zona tersebut yang jadi pengeluaran terbanyak rumah tangga miskin. Bila pemerintah dapat menguatkan JKN, memperluas subsidi pembelajaran, ataupun menggratiskan transportasi universal untuk keluarga miskin, hingga ruang fiskal rumah tangga hendak jauh lebih longgar.
” Pemerintah wajib membangun sistem irigasi yang sanggup mengairi segala ladang kehidupan rakyat. Maksudnya, kebijakan wajib dirancang secara merata, silih tersambung, serta betul- betul berpihak pada kelompok- kelompok yang sangat rentan,” kata Achmad.